Kebijakan Pemerintah
dalam
Bidang Ekonomi
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah kebijakan ekonomi yang digunakan
Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter, untuk mengendalikan atau mengarahkan perekonomian
pada kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan mengatur jumlah uang yang
beredar (JUB) dan tingkat suku bunga. Kebijakan moneter tujuan utamanya adalah
mengendalikan jumlah uang yang beredar (JUB).
Kebijakan moneter mempunyai tujuan yang sama dengan
kebijakan ekonomi pemerintah lainnya. Perbedaannya terletak pada instrumen
kebijakannya. Jika dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan
dan pengeluaran pemerintah maka dalam kebijakan moneter Bank Sentral (Bank Indonesia )
mengendalikan jumlah uang yang beredar (JUB).
Melalui kebijakan moneter, Bank Sentral dapat
mempertahankan, menambah, atau mengurangi JUB untuk memacu pertumbuhan ekonomi
sekaligus mempertahankan kestabilan harga-harga. Berbeda dengan kebijakan
fiskal, kebijakan moneter memiliki selisih waktu (time lag) yang relatif
lebih singkat dalam hal pelaksanaannya. Hal ini terjadi karena Bank Sentral
tidak memerlukan izin dari DPR dan kabinet untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi dalam
perekonomian.
Kebijakan moneter memiliki tiga instrumen, yaitu operasi
pasar terbuka (open market operation), kebijakan tingkat suku bunga (discount
rate policy) dan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio).
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Operasi pasar terbuka ( open market
operation )
Yaitu kebijakan pemerintah mengendalikan jumlah uang yang
beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah.
Di Indonesia operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU).
2.
Fasilitas Diskonto ( Discount Rate )
Salah satu
fasilitasnya yaitu adanya tingkat bunga diskonto yang maksudnya adalah tingkat
bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank
sentral.
Jika
pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar, maka pemerintah melakukan
suatu cara yaitu menurunkan tingkat bunga pinjaman (tingkat diskonto). Dengan
tingkat bunga pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk
meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih besar, sehingga jumlah uang yang
beredar bertambah dan sebaliknya.
3.
Rasio
Cadangan Wajib ( Reserve Requirement Ratio )
Penetapan
ratio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio
cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih
kecil dibandingkan sebelumnya.
Selain
ketiga instrumen yang bersifat kuantitatif tersebut, pemerintah dapat melakukan
himbauan moral (moral suasion). Misalnya untuk mengendalikan jumlah uang
beredar (JUB) di masyarakat, Bank Indonesia
melalui Gubernur Bank Indonesia
memberi saran supaya perbankan mengurangi pemberian kredit ke masyarakat atau
ke sektor-sektor tersebut.
Kebijakan
moneter dapat bersifat ekspansif maupun kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif
dilakukan pemerintah jika ingin menambah jumlah uang beredar di masyarakat atau
yang lebih dikenal kebijakan uang longgar (easy money policy).
Sebaliknya, jika pemerintah ingin mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat,
kebijakan moneter yang ditempuh adalah kebijakan moneter kontraktif atau yang
lebih dikenal kebijakan uang ketat (tight money policy). Selain itu
dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Sentral dapat menggunakan tiga
instrumen, yaitu operasi pasar terbuka (open market operation),
kebijakan tingkat suku bunga (discount rate policy) dan rasio cadangan
wajib (reserve requirement ratio).
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri merupakan salah satu
bagian kebijakan ekonomi makro. Kebijakan Perdagangan Luar Negeri adalah
peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang mempengaruhi struktur atau komposisi
dan arah transaksi perdagangan serta pembayaran internasional. Karena merupakan
salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro maka kebijakan perdagangan
internasional bekerja sama dengan baik dengan kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter.
Tujuan dari kebijakan perdagangan luar negeri yaitu
sebagai berikut :
1.
Melindungi kepentingan nasional dari
pengaruh negatif yang berasal dari luar negeri seperti dampak inflasi di luar
negeri terhadap inflasi di dalam negeri melalui impor atau efek resesi ekonomi
dunia (krisis global) pertumbuhan ekspor Indonesia.
2. Melindungi industri nasional dari
persaingan barang-barang impor.
3. Menjaga keseimbangan neraca
pembayaran sekaligus menjamin persediaan valuta asing (valas) yang cukup,
terutama untuk kebutuhan impor dan pembayaran cicilan serta bunga utang luar
negeri.
4. Menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan stabil.
5. Meningkatkan kesempatan kerja.
Kebijakan
perdagangan luar negeri terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Kebijakan Pengembangan atau Promosi
Ekspor
Tujuan Kebijakan Pengembangan atau Promosi Ekspor adalah
untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekspor. Tujuan kebijakan ini
dapat dicapai dengan berbagai kebijakan, antara lain kebijakan perpajakan dalam
berbagai bentuk, misalnya pembebasan atau keringanan pajak ekspor dan
penyediaan fasilitas khusus kredit perbankan bagi eksportir.
2. Kebijakan Proteksi atau Kebijakan
Impor
Kebijakan Proteksi atau Kebijakan Impor bertujuan untuk
melindungi industri di dalam negeri dari persaingan barang-barang impor. Kebijakan proteksi dapat diterapkan
dengan berbagai instrumen, baik yang berbentuk tarif maupun non tarif.
Proteksi-proteksi yang dilakukan dengan tidak menggunakan tarif disebut non-tariff
barriers. Hambatan yang termasuk ke dalam hambatan non-tarif, antara lain
kuota, subsidi, diskriminasi harga, larangan impor, premi, dan dumping.
Pada
intinya, masalah-masalah dalam bidang ekonomi yang dihadapi pemerintah bukan
hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi kita sebagai warga negara yang
baik semestinya ikut membantu dalam mengatasinya. Banyak cara yang dapat
diupayakan dimulai dengan melakukan program-program serta kebijakan-kebijakan.
Hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerja sama masyarakatnya.
Untuk itu, masyarakat semsetinya sudah dapat memposisikan dirinya untuk
membantu supaya pembangunan yang dilakukan pemerintah tersebut berjalan dengan
baik dengan cara tidak menjadi beban atau kendala bagi pemerintah.
Salah satu contoh kasus yang dapat diambil yaitu krisis ekonomi
global yang terjadi baru-baru ini. Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan
kelam sejarah perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang
merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan
terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di
negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang
menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh
.Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan
menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi runtuhnya pusat
keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham diberbagai belahan dunia
seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea Selatan, dan Negara
lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia (BEI) harus
disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam
menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya
dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan
oleh negara Indonesia.
Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini
berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu
dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia
lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat pembayaran luar
negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian Indonesia, tetapi krisis
keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor yang terjadi di
luar negeri. Tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam menyikapi
permasalahan ini, tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini
akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume
perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada
banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas
produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara
berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental
perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap
perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight
to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia
dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan
mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di
negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian
yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian
terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia
tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam
triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai
dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak
negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca
pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal
(APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan
sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan
melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global.
Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar
50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar
17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan
berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging)
dari lembaga keuangan global.
Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis
ekonomi global), seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju
maupun negara berkembang telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit.
Beberapa negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang
mempunyai teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata,
obat-obatan terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut
adalah bahwa ekonomi negara-negara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat
rapuh yang meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global.
Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja
perekonomian dunia secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus
berlanjut, bahkan akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada
tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar
yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya
lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging
markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu
terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap
perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight
to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia
dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan
mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di
negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah
ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian
terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia
tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam
triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai
dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak
negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi
neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor
fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan
sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan
melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global.
Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar
50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar
17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan
berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging)
dari lembaga keuangan global.
Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan
dunia, untuk mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh arahan: (1) semua
kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan, (2) tetap
pertahankan nilai pertumbuhan enam persen, (3) optimalisasi
APBN 2009, (4) dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, (5) semua
pihak agar cerdas menangkap peluang, (6) galakkan
kembali penggunaan produk dalam negeri, (7) tingkatkan
sikap profesionalisme, (8) kerja sama dalam menghadapi masalah, (9) tidak
melakukan langkah non partisan, (10) komunikasi yang bijak. Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam
mengatasi dampak krisis keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan,
yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI
(paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri dan menyediakan peluang
pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup
strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan
baku , dukungan
permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya
manusia.
PENYEBAB
KRISIS EKONOMI GLOBAL
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan
akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia
mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan
yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa waktu
yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal.
Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab
utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam
merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan
cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan
sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara
itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga
memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana
penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan
(growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat
struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal.
Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada
bahan baku
impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat “dianak-tirikan”,
sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju
industrialisasi. Yang saat
itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang
cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu
berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan
memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa
menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan
politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan
alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan
merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang
telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya
justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah
membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala
bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian
menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil
optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin
terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian,
sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis
pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi
secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan
politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran
birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat
penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan
praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang
dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya
kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust
masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar
negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang
terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa
terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis
Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap
kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya,
kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat
ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri,
dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan
dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
DAMPAK YANG DITIMBULKAN OLEH KRISIS EKONOMI GLOBAL
1.Dampak Perekonomian Global
terhadap APBNP 2008
Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%,
menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara
Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi
perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih
mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif ,
karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada
pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia
usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang
tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk
akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti
akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih
akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi
harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh
pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke
ke pasar Indonesia .
Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan
reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak
terhadap Indonesia
dan dikhawatirkan inflasi akan melebihisatudigit.
Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden
Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan
pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi.
Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total
subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri
U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk
subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui
pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN)
disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika
subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam
melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya
daya serap SUN.
Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan
sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat
ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat
inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan
deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam
APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya
semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil
pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika
asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian,
mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali.
2. Dampak
Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian
|
Krisis keuangan yang terjadi di
Amerika Serikat sudah terlihat tanda-tandanya beberapa waktu yang lalu,
Tetapi baru dianggap serius oleh pemerintah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober
2008 saat IHSG di BEI turun tajam sampai 10,38 % dan mengharuskan pemerintah
menghentikan kegiatan di pasar bursa modal beberapa hari.
Sebenarnya
banyak akibat yang dirasakan oleh Indonesia dengan adanya krisis keuangan di
Amerika serikat , baik akibat positif seperti turunnya harga minyak dunia
yang menembus $ 61 per barel dan akibat negative seperti turunnya nilai
rupiah, berkurangnya nilai export, turunnya investasi atau terjadi flyingout
, namun demikian akibat negatif lebih banyak dirasakan bagi perekonomian
Indonesia terutama bagi sektor riil yang mempunyai pangsa export, pemerintah
harus sungguh-sungguh menangani masalah ini karena pada akhirnya apabila
tidak tertangani dengan benar akan mengakibatkan distabilitas negara atau
sering orang bilang akan terjadi Krisis seri kedua.
Lebih lanjut
Ridwan (dosen Ek. Pembangunan UJB)menegaskan , bahwa harus ada
langkah-langkah antisipasi menghadapi krisis keuangan global anatara lain,
tetap menjaga independensi pengambil keputusan, sebisa mungkin mempertahankan
tingkat suku bunga yang ada saat ini, peningkatan pagu jaminan simpanan pada
Lembaga Keuangan Nasional, Penginjeksian secara besar-besaran likuiditas ke
dalam perbankan nasioanal, pemberlakuan kontrol devisa terbatas , pembentukan
lembaga procurement untuk mengatur transaksi devisa BUMN, keharusan izin bank
sentral bagi transaksi arus ke luar modal dalam jumlah tertentu. Disamping
itu diskusi juga merekomendasiakan : Penyiapan satu skema social safety net
yang komprehensif untuk mengantisipasi full-blown crisis , pemerintah daerah
secara lebih erat sebagai mitra dan pelaksana berbagai kebijakan yang
ditetapkan, mewaspadai politik dumping , menyiapakan insentif bagi pengusaha
lokal untuk menggarap pasar domestik, dan merekomendasikan untuk mengkaji
ulang sistem ekonomi yang selama ini mengekor pada sistem ekonomi kapitalis.
|
CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis
Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara
krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1 (satu) orang bahkan lebih
dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan
komentar pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan
Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden
Yudhoyono menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di
antaranya:
1.
Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2.
Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3.
Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4.
Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk
menghadapi krisis itu bukanlah semata adalah tugas
pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi bersama
jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat
meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai
Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis
Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata
masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis
menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai
meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu
investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik saham dalam
industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan
peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air
belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan
dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para
koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda
bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How
pity a Country !”
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai
negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan
hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari
bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara
profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia .
Lihat saja kekayaan Alam Indonesia
mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena
Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup
keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum
lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang
Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang
sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa
ini.
Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global
telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini
sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang
berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis
kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan
operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia
belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara
Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa
kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai
masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait
untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional
sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan
dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak
bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor
Terbesar”.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis
Bisnis
Bisnis
Bisinis
Kompas, 15 Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar”
Bisnis
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=DAMPAK%20KRISIS%20EKONOMI%20GLOBAL%20TERHADAP%20KONDISI%20SOSIAL%20EKONOMI%20DI%20PROVINSI%20KEPULAUAN%20BANGKA%20BELITUNG&nomorurut_artikel=273
http://bagkeu-bppk.net/content/mengatasi-dampak-krisis-global-melalui-program-stimulus-fiskal-apbn-09
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm
http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Artikel/dampak_perekonomian.htm
http://metris-community.com/dampak-krisis-ekonomi-global/
http://www.janabadra.ac.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=219:dampak-krisis-keuangan-global-terhadap-perekonomian-indonesia&catid=61:fakultas-ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar